Untung belum terlambat! Aku dan Fito akhirnya bisa duduk nyaman di bangku penumpang.
Aku membayangkan mimpiku semalam,
‘Melamar Lana?’ Napasku terasa berat.
‘Mimpi itu seolah petunjuk untukku, haruskah aku segera melamarnya?’
***
Seolah De Javu bagiku saat bertemu Lana. Urutan peristiwa yang terjadi hampir semua sama kecuali bagian sebelum Lana memintaku melamarnya.
“Bi, kenapa?”
“Oh, eh kau suka parfum dan batiknya?”
“Suka.” Lana tersenyum memikat.
Ia bergeming di tempat duduknya.
“Kau, jangan ke mana-mana Lana.” Ucapku.
Ia mengerenyitkan keningnya tak mengerti.
“Maksudmu?”
“Iya, jangan ke mana-mana, di hatiku saja…” Bisikku nyaris tak terdengar.
“Kau masih juga gombal! Ku kira gombalmu sudah hanyut karena banjir Jakarta!” Ia terbahak dengan muka memerah.
“Bukan gombal, Lana. Will you marry me?”
Kali ini Lana yang tertegun lama…
aaaaaa, tersipuuu
“will you marry me?” :”>
Aduh, jawab apa ya? đ
Makasih kunjungannya, Kak