#Day23: Pulang

Aku terseok-seok di antara rumpun liar yang bunganya menempel, menarik untuk tetap tinggal
Sedangkan mataku melekat pada keangkuhan bangunan tinggi yang menatap menyalang
Lengan lenganku terpasung sedemikian kuat pada dasi yang tak pernah ada, pada parfum yang tak wangi
Lidahku terjulur menetes tetes liur, membanjiri hingga semata kaki
Lambungku penuh dengan makanan lezat, ulat, belatung, tulang belulang, dan serangga kecil lainnya
Puluhan lalat, anjing, tikus pun enggan mendekat
Aku layaknya binatang yang lebih menjijikan dari lalat, yang lebih kotor dari anjing kurap, yang lebih rakus dari tikus kurus
Napasku tersengal-sengal mencoba lari dari dekapan sekapan
Hari pukul tiga pagi
Setapak itu kulihat benderang
Warnanya hijau kekuning-kuningan
Telapak itu surga yang telah lama aku tinggal
Kaki-kakinya adalah harapan
Aku lupa kapan terakhir kali berdoa dan menyebut surga
Suaranya adalah nyanyian bidadari yang menerbangkanku dari lubang tua berbau kecut
Aku hampir semaput ketika tangannya adalah sulur terpanjang yang pernah aku gapai
Matanya membimbing mataku melihat dunia selain bangunan sombong
Seolah lenganku dengan sukarela mengikuti tuntunan senyumnya
Sekali lagi kakiku terseok-seok melangkah
Kali ini melewati rimbun rumpun yang bunganya berganti embun
Pulang.

2 thoughts on “#Day23: Pulang”

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.