“Bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.” Guy Montag dalam buku Farenheit 451
Dalam sejarah manusia, seringnya kita menghilangkan atau melupakan sesuatu dengan berbagai tuduhan yang tidak beralasan, dalam hal ini bukulah yang lebih sering diberangus dari masa ke masa. Mungkin karena ketakutan akan suatu paham yang dapat menghancurkan negara, memberangus buku-buku adalah pilihan termudah. Namun tidak semestinya demikian, karena kita tahu bahwa buku adalah jendela dunia. Dari buku kita dapat mengetahui dan belajar banyak hal mengenai sejarah dan kehidupan.
Sejarah Pemberangusan Buku
Fernando Baez dalam bukunya yang berjudul “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”, menuliskan hasil penelitiannya selama dua belas tahun mengenai “Kenapa manusia membakar buku?”. Dalam buku ini Fernando memaparkan sejarah penghancuran buku berdasarkan kronologi waktu dalam tiga bagian; zaman dunia kuno, dari Byzantium hingga abad ke 19, dan dari abad ke 20 hingga sekarang.
Penghancuran buku dalam sejarah dimulai di Sumeria. Sumeria merupakan sebuah peradaban kuno di Mesopotamia selatan, pada masa kini di selatan Irak. Tempat awal peradaban manusia mengumpulkan tulisan-tulisan (dalam bentuk tablet, lempengan yang terbuat dari tanah liat), berdasarkan temuan arkeologis di tahun 1924 ada 100.000 buku telah hancur akibat perang yang berkecamuk di wilayah tersebut. Temuan yang mengandung paradoks; penemuan buku-buku paling awal, dan juga menandakan penghancurannya yang paling perdana.
Pada era Byzantium hingga abad ke 19 terungkap bahwa era Perang Salib tidak hanya menyebabkan korban jiwa yang besar, melainkan juga turut hancurnya manuskrip dan buku-buku berharga. Selain karena perang, penghancuran buku juga dilakukan oleh otoritas gereja. Hal ini dilakukan terutama untuk buku-buku yang dianggap sesat. Buku-buku ini dibakar dan kerap penulisnya pun dibakar bersama dengan buku yang ditulisnya.
Abad ke 20 hingga sekarang, Fernando membeberkan mengenai Holocaust dan biblioclast Nazi di Jerman. Bahwa sesungguhnya Holocaust yang dilakukan Nazi terhadap jutaan orang Yahudi selama Perang Dunia kedua diawali oleh sebuah biblioclast, di mana jutaan buku secara sistematis dihancurkan melalui sebuah ritual pembakaran buku, dengan pengumpulan massa, menyanyikan himne, pidato dan diakhiri dengan pembakaran buku.
Pemberangusan Buku di Indonesia
Pemberangusan buku di Indonesia juga memiliki sejarah panjang, namun dalam buku ini hanya satu kasus yang menjadi sorotan Fernando, yaitu yang terjadi di tahun 2007. Atas alasan yang lebih politis, pihak berwenang di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan juga membakar lebih dari 30.000 buku ajar SMA di hadapan para siswanya. Buku-buku diberangus karena dianggap tidak sejalan dengan sejarah versi pemerintah tentang usaha kudeta tahun 1965 di Indonesia, yang selama puluhan tahun dikambinghitamkan pada orang-orang komunis.
Di masa sekarang ini pun juga terjadi razia buku-buku, razia terakhir terjadi di sebuah toko buku di daerah Padang, Sumatera Barat, yang melibatkan aparat gabungan TNI, Polri dan kejaksaan Negeri. Aparat menyita enam ekslempar dari tiga buku yang disinyalir isinya mengandung paham komunisme. Dua pekan sebelumnya, ratusan buku yang diduga berisi ajaran paham komunis juga dirazia di Kediri, Jawa Timur.
Tak hanya itu, melalui portal berita online mengenai pemberangusan buku diberitakan bahwa sebuah toko buku ternama bahkan juga pernah menarik sejumlah buku serial investigasi “Orang Kiri” dari rak penjualan, menyusul setelah adanya penarikan buku beraliran kiri ini di beberapa daerah.
Penerbit buku pun tak luput menjadi sasaran aparat untuk urusan pemberangusan buku ini, seperti kejadian pada Penerbit Narasi di Yogyakarta dimana beberapa buku yang ditulis oleh Kuncoro Hadi disita karena disebut beraliran kiri.
Perpustakaan Jalanan di Bandung juga pernah dibubarkan oleh aparat karena kecurigaan terhadap konten buku yang dibaca dan disewakan di sana. Bahkan, diduga terjadi kekerasan fisik terhadap para pegiat perpustakaan jalanan ini.
Pemerintah Indonesia dan Pemberangusan Buku
Pemerintah Indonesia sendiri sesungguhnya sejak tahun 2010 melalui Mahkamah Agung sudah mencabut kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pelarangan buku pada UU Nomor 4/PNPS/1963. Artinya, tanpa izin pengadilan maka pemberangusan buku tidak dapat dilakukan. Sehingga apa yang dilakukan oleh pihak aparat pada beberapa waktu lalu sebenarnya tidak dapat dibenarkan.
Hal ini jika dikaitkan juga dengan apa yang sedang digencarkan oleh pemerintah mengenai Gerakan Literasi Nasional, maka pemberangusan buku seperti sebuah tindakan yang tidak mendukung masyarakat Indonesia untuk lebih mencintai buku dan menggalakkan literasi di lingkungan sendiri. Padahal seperti yang kita ketahui pada daftar World’s Most Literate Nations yang dibuat oleh Central Connecticut State University menyatakan bahwa literasi penduduk Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara.
Pemberangusan buku ini sendiri jika secara kasarnya dapat dikatakan seperti sebuah pemaksaan ‘agama’ kepada pemeluk agama lain. Dimana semua keyakinan haruslah sama. Padahal kenyataannya, negara sendiri menjamin kebebasan penduduknya untuk meyakini ‘agama’nya masing-masing. Maka, akankah pemberangusan buku ini akan tetap terjadi?
Sesungguhnya akan selalu ada usaha dari manusia untuk menghancurkan buku yang dianggap membahayakan atau tidak sesuai dengan keyakinannya. Jadi bagaimana kita menyelamatkan isi buku dari para penjagalnya? Hanya ada satu cara, yaitu dengan membacanya. Fisik buku bisa dihancurkan, namun isi buku yang terekam dalam ingatan akan sulit dihapus selama manusia masih dalam keadaan hidup.
Sumber referensi;
Pemberangusan Buku dari Masa ke Masa, Fernando Baez
BBC News
Terbukti bahwa buku masih membawa pengaruh yang besar bagi pembacanya. Sehingga pihak-pihak yang tak suka jika rakyat terpengaruh isi buku, melakukan pemberangusan terhadap buku dan bahkan mungkin juga penulisnya
Menarik sekali bahasannya mbak,nambah wawasan diriku yang fakir ilmu ini, heuheu. Serem banget baca cerita tentang pemberangusan buku di era Byzantium.
Sekarang, di Indonesia sudah ada aturan dalam hal pemberangusan buku. Sudah seharusnya kita semua mencintai buku..
Setiap kali membaca berita tentang pemberangusan buku, saya selalu merasa bahwa buku atau tulisan memang masih punya banyak pengaruh.
Karena dari buku hal-hal bisa diingat, sehingga pemberangusan buku yang katanya termasuk aliran kiri harus dilakukan. Di sisi lain, sejarah sebetulnya jangan dilupakan.
sedih bacanya, sampai sebegitunya ya. kok kesannya seperti menyalahi dan tak menghargai hak asasi manusia untuk menuangkan pemikiran/pendapat lewat tulisan. tapi dari sini jadi jelas bahwa buku masih memeiliki peranan penting karena memiliki pengaruh kuat. walau sebatas ketikan kata dalam tumpukan kertas, namun isinya bisa merasuk ke dalam jiwa
Sebetulnya saya masih membutuhkan buku…apalagi buat anak saya yg masih kecil daripada kebanyakan main gadget mending baca buku
Books from time to time. I still remember the stories about some forbidden books back to the era where Indonesia was still under the certain government. And I am not surprised to see that even way before that it already happened
Jadi inget jaman orba.. yg diberangus bukan cuma buku..
Pemberangusan buku ini banyak juga kan mba jaman orde baru seingatku. Banyak buku2 yang mengkritik rezim yang berkuasa saat itu, langsung ga boleh edar. Dulu aku ingat, majalah tempo pun kena breidel.
Agaknya sulit ya kalau mau meningkatkan literasi tapi ada pihak yang gak siap. Yha, cobalah pemerintah lebih friendly dengan mengadakan diskusi buku karya mbah Pram gitu ya buat anak-anak sekolah pasti mereka bakal senang dengan buku bermutu yang demikian daripada bacaan2 romansa yg kurang greget (hasil cetakan wattpad) #eh, ahahaha
Buku dari masa ke masa tetap memiliki pengaruh ya mba
Buku2 yg diberangus malah bikin penasaran ya mba…dulu buku2 PAT diberangus 98 diterbitkan ulang krn reformasi n terbukti fiksi2nya bermuatan sejarah bukan ideologi penghasut . Sy mulai mengoleksinya saat itu tp belun lengkap
Buku2 yg diberangus malah bikin penasaran ya. Dulu buku2 PAT diberangus seelah reformasi diterbitkan ulang krn trbukti fiksi2nya bermuatan sejarah bukan hasutan ideologi
Setuju banget dengan kalimat terakhir mba. Kadang kita selalu ingat dengan secuil kalimat dalam buku yang suka cocok dengan kondisi hati saat membacanya, Sering kejadian biarpun lupa judul buku dan penulisnya … kita bisa menceritakan ulang kisah di dalamnya.
Yang paling nyesek waktu sekolah dulu pas baca sejarah penyerangan Kota Baghdad oleh Bangsa Mongol dimana perpustakaan dihancurkan dan buku-buku dibakar. Padahal itu adalah perpustakaan Islam terbesar pada zamannya.
Jadi ingat cerita alm Pak Pram yang bukunya diberangus oleh pemerintah dengan dimusnahkan karena dianggap mengancam keamanan negara. Kalau sekarang sepertinya jaman sudah semakin merdeka
Ternyata sejarahnya sudah panjang ya. Dan alasan pemberangusan buku sama dari masa ke masa, yaitu ketakutan akan penyebaran paham yang dianggap “sesat”. Tantangannya memang kpada bagaimana mencerdaskan bangsa, supaya tidak masuk dalam World’s Most Literate Nations dalam urutan terbawah lagi.
Karya sastra dari dulu selalu menyumbang pengaruh besar pada peradaban atau jalan hidup suatu bangsa, nggak heran kalau akhirnya banyak yg dimusnahkan oleh penguasa yg punya kepentingan berbeda 🙁
Aku pernah baca waktu Mongol menyerang kesultanan islam mereka menghancurkan perpustakaan dan menghanyutkan buku2 ke sungai. Padahal itu kitab2 penting yang ditulis oleh banyak ulama islam.