Bayi mungil itu masih terus menangis. Aku memandanginya dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian suara anak kunci yang diputar terdengar dari pintu depan. ‘Dia pulang!’
Bergegas kugendong bayi kecil malang itu lalu menyusuinya. Suara langkah kaki mendekat. Syukurlah bayi kecil ini sudah diam. Kalau tidak bisa-bisa dia kembali memakiku.
“Tadi kudengar putriku menangis. Lapar, ya?” Tanyanya sambil mencium pipi bayi yang bulat penuh itu. Aku diam tak menanggapi. “Minum susu yang banyak ya, Ayah mau tidur. Ngantuk.” Ucapnya lalu naik ke atas kasur dan mendengkur.
Ini pukul tiga pagi. Seenaknya saja dia pulang jam segini, tanpa basa-basi lalu pulas begitu saja. Aku menggerutu dalam hati. Kupandangi bayi yang masih tak henti menghisap cairan dari tubuhku ini. Ia bahkan tak peduli, ibunya ini tengah dongkol setengah mati. Lelah, hampir mati.
Aku tertidur terlampau nyenyak. Tak mendengar kalau bayi malang itu sudah menangis sedari tadi. “Ada apa, Nak? Kamu lapar lagi?” Tanyaku sambil mengeluarkan ia yang dibalik baju. Sialnya bayi itu tidak mau. Dia masih saja menangis, meraung semakin kencang. Aku mulai cemas ketika lelaki yang baru pulang pukul tiga pagi itu terpaksa membuka matanya.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara
berat. “Dia tidak mau menyusu” jawabku. Jemarinya menelusup dibalik badan bayi
itu, “Dia ngompol! Bukan lapar! Ganti popoknya!” Teriaknya. Aku panik, mencoba
meraih lembaran kain bernama popok dan bedong.
“Cepat! Dia kedinginan”
Aku makin panik, tergesa membuka ikatan bedong di ujung kaki bayi. Bayi itu terus menangis. Bajunya juga basah terkena air seninya. Aku hendak bergerak mengambil ganti, ketika lagi-lagi dia berteriak “Lamban!”
Aku sekuat tenanga mencoba menahan jatuhnya air mata dan secepat mungkin menyelesaikan drama ganti popok bayi. Lalu menggendong dan menyusuinya lagi. Lelaki yang pulang pukul tiga pagi itu mendengus kesal dan kembali bermimpi. Rasanya ingin kutancapkan belati di punggungnya. Biar dia mati dan tak bisa lagi memaki.
Air mataku menetes, bayi mungil itu tersenyum. Aku benci dia dan bayi sialan ini!
***
Aku membaca judul besar berita di secarik kertas koran lusuh bertanggal 27 Desember 2000 itu. Mataku basah saat menelaah setiap paragraf kronologinya. Ibuku, meninggal karena aku.
Tulisan ini diikutesertakan pada tantangan menulis dari Kata Hati di Instagram dengan tagar #katahatichallenge #katahatiproduction –
Hujan deras mengguyur di hari Rabu, 17 Januari 2024. Selepas dari kelas, saya langsung menuju…
Minggu, 14 Januari 2024. Aku menghadiri Grand Opening Ethica Store Sungai Serut. Berlokasi di Jalan…
Siapa yang di sini memiliki pemikiran yang sama dengan saya? Ingin mengganti ponsel yang sudah…
Sudah lama banget aku tuh nyari jilbab warna merah yang unik dan nyaman dipakai. Bukannya…
Sejak sekolah tempat saya bekerja menjadi lima hari kerja, setiap pulang sekolah rasanya capek banget.…
Suasana segar terasa setelah Kota Pangkalpinang di guyur hujan sejak pagi. Tepat pada tanggal 15…
This website uses cookies.
View Comments
Wah serem juga ceritanya mbak. Semoga tidak banyak ibu muda yang mengalami hal ini dizaman sekarang..
Semoga bukan kenyataan mbak, agak ngeri euy. Hidup ibu-ibu
Semangat ibu-ibu!!!!!!!!!!
ih. ngeri ah cerita nya mbak..kok bisa sampe mau bunuh diri gitu.
Mantul cerpennya mbak.. Endingnya ngeri.